Cerita Sex Puas Banget Menduakan Ngewe Memek Isteri Tetangga
Tuesday, 11 February 2020
Boshepoker,
CeritaGuruMesum,
CeritaSeks,
CeritaSeksPelajar,
DewaDomino,
DewaPoker,
DewaSakong,
IDNGames,
IDPRO,
KontolGede,
Lolipoker,
MemekBasah,
MemekSempit,
NgentotIstri,
PokerVGames,
ToketGede
Edit
Cerita Sex Puas Banget Menduakan Ngewe Memek Isteri Tetangga
BOSHE - Sudah bertahun-tahun aktivitas ronda malam di lingkungan daerah tinggalku berjalan dengan baik. Setiap malam ada satu grup terdiri dari tiga orang. Sebagai anak belia yang sudah bekerja saya sanggup giliran ronda pada malam minggu.
Pada suatu malam ahad saya giliran ronda. Tetapi hingga pukul 23.00 dua orang temanku tidak muncul di pos perondaan. Aku tidak peduli mau tiba apa tidak, sebab saya maklum kiprah ronda yaitu sukarela, sehingga tidak baik untuk dipaksa-paksa. Biarlah saya ronda sendiri tidak ada masalah.
Karena memang belum mengantuk, saya jalan-jalan mengontrol kampung. Biasanya kami mengelilingi rumah-rumah penduduk. Pada waktu hingga di samping rumah Pak Tadi, saya melihat beling nako yang belum tertutup. Aku mendekati untuk melihat apakah beling nako itu kelupaan ditutup atau ada orang jahat yang membukanya. Dengan hati-hati kudekati, tetapi ternyata kain korden tertutup rapi. BRI 24 JAM
Kupikir kemarin sore niscaya lupa menutup beling nako, tetapi eksklusif menutup kain kordennya saja. Mendadak saya mendengar bunyi aneh, ibarat desahan seseorang. Kupasang indera pendengaran baik-baik, ternyata bunyi itu tiba dari dalam kamar. Kudekati pelan-pelan, dan darahku berdesir, ketika ternyata itu bunyi orang bersetubuh. Nampaknya ini kamar tidur Pak Tadi dan istrinya.
Aku lebih mendekat lagi, suaranya dengusan nafas yang memburu dan gemerisik dan goyangan daerah tidur lebih terang terdengar. “Ssshh… hhemm… uughh… ugghh, terdengar bunyi dengusan dan bunyi orang ibarat menahan sesuatu. Jelas itu bunyi Bu Tadi yang ditindih suaminya. Terdengar pula bunyi kecepak-kecepok, nampaknya penis Pak Tadi sedang mengocok liang vagina Bu Tadi.
Aduuh, darahku naik ke kepala, penisku sudah berdiri keras ibarat kayu. Aku betul-betul iri membayangkan Pak Tadi menggumuli istrinya. Alangkah nikmatnya menyetubuhi Bu Tadi yang elok dan montok itu.
“Oohh, sshh buuu, saya mau keluar, sshh…. ssshh..” terdengar bunyi Pak Tadi tersengal-sengal. Suara kecepak-kecepok makin cepat, dan kemudian berhenti. Nampaknya Pak Tadi sudah ejakulasi dan niscaya penisnya dibenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu Tadi. Selesailah sudah persetubuhan itu, saya pelan-pelan meninggalkan daerah itu dengan kepala berdenyut-denyut dan penis yang kemeng sebab tegang dari tadi.
Sejak malam itu, saya jadi sering mengendap-endap mengintip aktivitas suami-istri itu di daerah tidurnya. Walaupun nako tidak terbuka lagi, namun suaranya masih terang terdengar dari sela-sela beling nako yang tidak rapat benar. Aku jadi ibarat detektip partikelir yang mengamati aktivitas mereka di sore hari.
Biasanya pukul 21.00 mereka masih melihat siaran TV, dan setelah itu mereka mematikan lampu dan masuk ke kamar tidurnya. Aku mulai melihat situasi apakah kondusif untuk mengintip mereka. Apabila aman, saya akan mendekati kamar mereka. Kadang-kadang mereka hanya bercakap-cakap sebentar, terdengar bunyi gemerisik (barangkali memasang selimut), kemudian sepi. Pasti mereka terus tidur.
Tetapi apabila mereka masuk kamar, bercakap-cakap, terdengar ketawa-ketawa kecil mereka, jeritan lirih Bu Tadi yang kegelian (barangkali beliau digelitik, dicubit atau diremas buah dadanya oleh Pak Tadi), sanggup dipastikan akan diteruskan dengan persetubuhan. Dan saya niscaya mendengarkan hingga selesai. Rasanya ibarat kecanduan dengan suara-suara Pak Tadi dan khususnya bunyi Bu Tadi yang keenakan disetubuhi suaminya.
Hari-hari selanjutnya berjalan ibarat biasa. Apabila saya bertemu Bu Tadi juga biasa-biasa saja, namun tidak sanggup dipungkiri, saya jadi jatuh cinta sama istri Pak Tadi itu. Orangnya memang cantik, dan badannya padat berisi sesuai dengan seleraku. Khususnya pantat dan buah dadanya yang besar dan bagus.
Aku menyadari bahwa hal itu tidak akan mungkin, sebab Bu tadi istri orang. Kalau saya berani menarik hati Bu Tadi niscaya jadi duduk masalah besar di kampungku. Bisa-bisa saya dipukuli atau diusir dari kampungku. Tetapi nasib orang tidak ada yang tahu. Ternyata saya risikonya sanggup menikmati keindahan tubuh Bu Tadi.
Pada suatu hari saya mendengar Pak Tadi opname di rumah sakit, katanya operasi usus buntu. Sebagai tetangga dan masih bujangan saya banyak waktu untuk menengoknya di rumah sakit. Dan yang penting saya mencoba membangun hubungan yang lebih erat dengan Bu Tadi.
Pada suatu sore, saya menengok di rumah sakit bersamaan dengan adiknya Pak Tadi. Sore itu, mereka sepakat Bu Tadi akan digantikan adiknya menunggu di rumah sakit, sebab Bu Tadi sudah beberapa hari tidak pulang. Aku memperlihatkan diri untuk pulang bersamaku. Mereka oke saja dan malah berterima kasih. Terus terang kami sudah menjalin hubungan lebih erat dengan keluarga itu.
Sehabis mahgrib saya bersama Bu Tadi pulang. Dalam mobilku kami mulai mengobrol, mengenai sakitnya Pak Tadi. Katanya seminggu lagi sudah boleh pulang. Aku mulai mencoba untuk berbicara lebih dekat lagi, atau katakanlah lebih kurang ajar. Inikan kesempatan bagus sekali untuk mendekatai Bu Tadi.
“Bu, maaf yaa. ngomong-ngomong Bu Tadi sudah berkeluarga sekitar 3 tahun kok belum diberi momongan yaa”, kataku hati-hati.
“Ya, itulah Dik Budi. Kami kan hanya lakoni. Barangkali Tuhan belum mengizinkan”, jawab Bu Tadi.
“Tapi anu tho bu… anuu.. bikinnya khan jalan terus.” godaku.
“Ooh apa, ooh. bila itu sih iiiya Dik Budi” jawab Bu Tadi agak kikuk. Sebenarnya kan saya tahu, mereka setiap minggunya minmal 2 kali bersetubuh dan terbayang kembali desahan Bu Tadi yang keenakan. Darahku semakin berdesir-desir. Aku semakin nekad saja.
“Ya, itulah, kami berusaha terus. Tapi ngomong-ngomong kapan Dik Budi kimpoi. Sudah kerja, sudah punya mobil, cakep lagi. Cepetan dong. Nanti keburu renta lhoo”, kata Bu Tadi.
“Eeh, benar nih Bu Tadi. Aku cakep niih. Ah kebetulan, tolong carikan saya Bu. Tolong carikan yang kayak Ibu Tadi ini lhoo”, kataku menggodanya.
“Lho, kok hanya kayak saya. Yang lain yang lebih cakep kan banyak. Saya khan sudah tua, buruk lagi”, katanya sambil ketawa.
Aku harus sanggup memanfaatkan situasi. Harus, Bu tadi harus saya dapatkan.
“Eeh, Bu Tadi. Kita kan nggak usah buru-buru nih. Di rumah Bu Tadi juga kosong. Kita cari makan dulu yaa. Mauu yaa bu, mau yaa”, ajakku dengan penuh kekhawatiran jangan-jangan beliau menolak.
“Tapi nanti kemaleman lo Dik”, jawabnya.
“Aah, gres jam tujuh. Mau ya Buu”, saya sedikit memaksa.
“Yaa gimana yaa… ya deh terserah Dik Budi. Tapi nggak malam-malam lho.” Bu Tadi setuju. Batinku bersorak.
Kami berehenti di warung bakmi yang terkenal. Sambil makan kami terus mengobrol. Jeratku semakin saya persempit.
“Eeh, saya benar-benar tolong dicarikan istri yang kayak Bu Tadi dong Bu. benar nih. Soalnya begini bu, tapii eeh nanti Bu Tadi murka sama saya. Nggak usaah saya katakan saja deh”, kubuat Bu Tadi penasaran.
“Emangnya kenapa siih.” Bu tadi memandangku penuh tanda tanya.
“Tapi kesepakatan nggak murka lho.” kataku memancing. Dia mengangguk kecil.
“Anu bu… tapi kesepakatan tidak murka lho yaa.”
“Bu Tadi terus terang saya terobsesi punya istri ibarat Bu tadi.
Aku benar-benar galau dan ibarat orang gila bila memikirkan Bu Tadi. Aku menyadari ini nggak betul. Bu Tadi kan istri tetanggaku yang harus saya hormati. Aduuh, maaf, maaf sekali bu. saya sudah kurang bimbing sekali”, kataku menghiba. Bu Tadi melongo, memandangiku. sendoknya tidak terasa jatuh di piring.
Bunyinya mengagetkan dia, beliau tersipu-sipu, tidak berani memandangiku lagi.
Sampai selesai kami jadi berdiam-diaman. Kami berangkat pulang. Dalam kendaraan beroda empat saya berpikir, ini sudah telanjur basah. Katanya pria harus nekad untuk menaklukkan wanita. Nekad kupegang tangannya dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku memegang setir. Di luar dugaanku, Bu Tadi balas meremas tanganku. Batinku bersorak. Aku tersenyum penuh kemenangan. Tidak ada kata-kata, batin kami, perasaan kami telah bertaut. Pikiranku melambung, melayang-layang. Mendadak ada sepeda motor menyalib mobilku. Aku kaget.
“Awaas! hati-hati!” Bu Tadi menjerit kaget.
“Aduh nyalib kok nekad amat siih”, gerutuku.
“Makanya bila nyetir jangan macam-macam”, kata Bu tadi. Kami tertawa. Kami tidak diam lagi, kami ngomong, ngomong apa saja. Kebekuan cair sudah. Sampai di rumah saya hanya hingga pintu masuk, saya kemudian pamit pulang.
Di rumah saya mencoba untuk tidur.
Tidak bisa. Nonton siaran TV, tidak nyaman juga. Aku terus membayangkan Bu Tadi yang kini sendirian, hanya ditemani pembantunya yang renta di kamar belakang. Ada dorongan sangat berpengaruh untuk mendatangi rumah Bu Tadi. Berani nggaak, berani nggak. Mengapa nggak berani. Entah setan mana yang mendorongku, tahu-tahu saya sudah keluar rumah. Aku mendatangi kamar Bu Tadi. Dengan berdebar-debar, saya ketok pelan-pelan beling nakonya, “Buu Tadi, saya Budi”, kataku lirih.
Terdengar gemerisik daerah tidur, kemudian sepi. Mungkin Bu Tadi berdiri dan takut. Bisa juga menduga saya maling. “Aku Budi”, kataku lirih. Terdengar gemerisik. Kain korden terbuka sedikit. Nako terbuka sedikit. “Lewat belakang!” kata Bu Tadi. Aku menuju ke belakang ke pintu dapur. Pintu terbuka, saya masuk, pintu tertutup kembali. Aku nggak tahan lagi, Bu Tadi saya peluk erat-erat, kuciumi pipinya, hidungnya, bibirnya dengan lembut dan mesra, penuh kerinduan. Bu Tadi membalas memelukku, wajahnya disusupkan ke dadaku.
“Aku nggak sanggup tidur”, bisikku.
“Aku juga”, katanya sambil memelukku erat-erat.
Dia melepaskan pelukannya. Aku dibimbingnya masuk ke kamar tidurnya. Kami berpelukan lagi, berciuman lagi dengan lebih bernafsu. “Buu, saya kangen bangeeet. Aku kangen”, bisikku sambil terus menciumi dan membelai punggungnya. Nafsu kami semakin menggelora. Aku ditariknya ke daerah tidur.
Bu Tadi membaringkan dirinya. Tanganku menyusup ke buah dadanya yang besar dan empuk, aduuh nikmat sekali, kuelus buah dadanya dengan lembut, kuremas pelan-pelan. Bu Tadi menyingkapkan dasternya ke atas, beliau tidak menggunakan BH. Aduh buah dadanya kelihatan putih dan menggung.
Aku nggak tahan lagi, kuciumi, kukulum pentilnya, kubenamkan wajahku di kedua buah dadanya, hingga saya nggak sanggup bernapas. Sementara tanganku merogoh kemaluannya yang berbulu tebal. Celana dalamnya kupelorotkan, dan Bu Tadi meneruskan ke bawah hingga terlepas dari kakinya.
Dengan sigap saya melepaskan sarung dan celana dalamku. Penisku eksklusif tegang tegak menantang. Bu Tadi segera menggenggamnya dan dikocok-kocok pelan dari ujung penisku ke pangkal pahaku. Aduuh, rasanya geli dan nikmat sekali. Aku sudah nggak sabar lagi. Aku naiki tubuh Bu Tadi, bertelekan pada sikut dan dengkulku.
Kaki Bu Tadi dikangkangkannya lebar-lebar, penisku dibimbingnya masuk ke liang vaginanya yang sudah basah. Digesek-gesekannya di bibir kemaluannya, makin usang semakin basah, kepala penisku masuk, semakin dalam, semakin… dan risikonya blees, masuk semuanya ke dalam kemaluan Bu Tadi. Aku turun-naik pelan-pelan dengan teratur. Aduuh, nikmat sekali. Penisku dijepit kemaluan Bu Tadi yang sempit dan licin. Makin cepat kucoblos, keluar-masuk, turun-naik dengan penuh nafsu. “Aduuh, Dik Budi, Dik Budii… enaak sekali, yang cepaat.. teruus”, bisik Bu Tadi sambil mendesis-desis. Kupercepat lagi. Suaranya vagina Bu Tadi kecepak-kecepok, menambah semangatku. “Dik Budiii saya mau muncaak… muncaak, teruus… teruus”, Aku juga sudah mau keluar.
Aku percepat, dan penisku merasa akan keluar. Kubenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu Tadi hingga amblaas. Pangkal penisku berdenyut-denyut, spermaku muncrat-muncrat di dalam vagina Bu Tadi. Kami berangkulan kuat-kuat, napas kami berhenti. Saking nikmatnya dalam beberapa detik nyawaku melayang entah kemana. Selesailah sudah. Kerinduanku tercurah sudah, saya merasa lemas sekali tetapi puas sekali.
Kucabut penisku, dan berbaring di sisinya. Kami berpelukan, mengatur napas kami. Tiada kata-kata yang terucapkan, ciuman dan belaian kami yang berbicara.
“Dik Budi, saya curiga, salah satu dari kami mandul. Kalau saya subur, saya harap saya sanggup hamil dari spermamu. Nanti bila jadi saya kasih tahu.
Yang tahu bapaknya anakku kan hanya saya sendiri kan. Dengan siapa saya menciptakan anak”, katanya sambil mencubitku. Malam itu pertama kali saya menyetubuhi Bu Tadi tetanggaku. Beberapa kali kami bekerjasama hingga saya kimpoi dengan perempuan lain. Bu Tadi walaupun cemburu tapi sanggup memakluminya.
Keluarga Pak tadi hingga ketika ini hanya memiliki satu anak perempuan yang cantik. Apabila di kedepankan, Bu Tadi sering menciumi anak itu, sementara matanya melirikku dan tersenyum-senyum manis. Tetanggaku pada meledek Bu Tadi, mungkin waktu hamil Bu Tadi benci sekali sama aku.
Karena anaknya yang elok itu memiliki mata, pipi, hidung, dan bibir yang persis ibarat mata, pipi, hidung, dan bibirku.
Seperti telah anda ketahui hubunganku dengan Bu Tadi istri tetanggaku yang elok itu tetap berlanjut hingga kini, walaupun saya telah berumah tangga. Namun dalam perkimpoianku yang sudah berjalan dua tahun lebih, kami belum dikaruniai anak. Istriku tidak hamil-hamil juga walaupun penisku kutojoskan ke vagina istriku siang malam dengan penuh semangat. Kebetulan istriku juga memiliki nafsu seks yang besar. Baru disentuh saja nafsunya sudah naik.
Biasanya beliau kemudian melorotkan celana dalamnya, menyingkap pakaian serta mengangkangkan pahanya semoga vaginanya yang tebal bulunya itu segera digarap. Di mana saja, di bangku tamu, di dapur, di kamar mandi, apalagi di daerah tidur, bila sudah nafsu, ya saya masukkan saja penisku ke vaginanya. Istriku juga dengan penuh gairah mendapatkan coblosanku. Aku sendiri terus terang setiap ketika melihat istriku selalu nafsu saja deh. Memang istriku benar-benar menciptakan hidupku penuh semangat dan gairah.
Tetapi sebab istriku tidak hamil-hamil juga saya jadi agak kawatir. Kalau mandul, terang saya tidak. Karena sudah terbukti Bu Tadi hamil, dan anakku yang elok itu kini menjadi anak kesayangan keluarga Pak Tadi. Apakah istriku yang mandul? Kalau melihat fisik serta haidnya yang teratur, saya yakin istriku subur juga. Apakah saya kena sanksi sebab saya menduakan dengan Bu Tadi? aah, mosok. Nggak mungkin itu. Apakah sebab dosa? Waah, mestinya ya memang dosa besar. Tapi sebab menyetubuhi Bu Tadi itu yummy dan nikmat, apalagi beliau juga senang, maka hubungan gelap itu perlu diteruskan, dipelihara, dan dilestarikan.
Untuk mengatur perselingkuhanku dengan Bu Tadi, kami sepakat dengan menciptakan isyarat khusus yang hanya diketahui kami berdua. Apabila Pak Tadi tidak ada di rumah dan benar-benar aman, Bu Tadi memadamkan lampu di sumur belakang rumahnya.
Biasanya lampu 5 watt itu menyala sepanjang malam, namun bila pada pukul 20.00 lampu itu padam, berarti keadaan kondusif dan saya sanggup mengunjungi Bu Tadi. (Anda sanggup memalsukan caraku yang sederhana ini. Gratis tanpa bayar pulsa telepon yang makin mahal). Karena dari samping rumahku sanggup terlihat belakang rumah Bu Tadi, dengan gampang saya sanggup menangkap tanda tersebut. Tetapi pernah tanda itu tidak ada hingga 1 atau 2 bulan, bahkan 3 bulan. Aku adakala jadi agak jengkel dan putus asa (karena kangen) dan saya menduga juga Bu Tadi sudah bosan denganku.
Tetapi ternyata memang kesempatan itu benar-benar tidak ada, sehingga tidak kondusif untuk bertemu.
Pada suatu hari saya berpapasan dengan Bu Tadi di jalan dan ibarat biasanya kami saling menyapa baik-baik. Sebelum melanjutkan perjalanannya, beliau berkata, “Dik Budi, besok malam ahad ada keperluan nggak?”
“Kayaknya sih nggak ada program kemana-mana. Emangnya ada apa?” jawabku dengan penuh cita-cita sebab sudah hampir satu bulan kami tidak bermesraan.
“Nanti ke rumah yaa!” katanya dengan tersenyum malu-malu.
“Emangnya Pak Tadi nggak ada?” kataku. Dia tidak menjawab, cuma tersenyum manis dan pergi meneruskan perjalanannya. Walaupun sudah biasa, darahku pun berdesir juga membayangkan pertemuanku malam ahad nanti.
Seperti biasa malam ahad yaitu giliran ronda malamku. Istriku sudah tahu itu, sehingga tidak menaruh curiga atau bertanya apa-apa bila pergi keluar malam itu. Aku sudah bersiap untuk menemui Bu Tadi. Aku hanya menggunakan sarung, (tidak menggunakan celana dalam) dan kaos lengan panjang biar agak hangat. Dan memang bila tidur saya tidak pernah pakai celana dalam tetapi hanya menggunakan sarung saja. Rasanya lebih rileks dan tidak sumpek, serta penisnya biar menerima udara yang cukup setelah seharian dipepes dalam celana dalam yang ketat.
Waktu memperlihatkan pukul 22.00. Lampu belakang rumah Bu Tadi sudah padam dari tadi. Aku berjalan memutar dulu untuk melihat situasi apakah sudah benar-benar sepi dan aman. Setelah yakin aman, saya menuju ke samping rumah Bu Tadi. Aku ketok beling nako kamarnya. Tanpa menunggu jawaban, saya eksklusif menuju ke pintu belakang. Tidak berapa usang terdengar kunci dibuka. Pelan pintu terbuka dan saya masuk ke dalam. Pintu ditutup kembali.
Aku berjalan beriringan mengikuti Bu Tadi masuk ke kamar tidurnya. Setelah pintu ditutup kembali, kami eksklusif berpelukan dan berciuman untuk menyalurkan kerinduan kami. Kami sangat menikmati kemesraan itu, sebab memang sudah hampir satu bulan kami tidak memiliki kesempatan untuk melakukannya. Setelah itu, Bu Tadi mendorongku, tangannya di pinggangku, dan tanganku berada di pundaknya. Kami berpandangan mesra, Bu tadi tersenyum manis dan memelukku kembali erat-erat. Kepalanya disandarkan di dadaku.
“Paa, sudah usang kita nggak begini”, katanya lirih. Bu Tadi kini bila sedang bermesraan atau bersetubuh memanggilku Papa. Demikian juga saya selalu membisikkan dan menyebutnya Mama kepadanya. Nampaknya Bu Tadi menghayati betul bahwa Nia, anaknya yang elok itu bikinan kami berdua.
“Pak Tadi sedang kemana sih maa”, tanyaku.
“Sedang mengikuti piknik karyawan ke Pangandaran. Aku sengaja nggak ikut dan hanya Nia saja yang ikut. Tenang saja, pulangnya gres besok sore”, katanya sambil terus mendekapku.
“Maa, saya mau ngomong nih”, kataku sambil duduk bersanding di daerah tidur. Bu Tadi diam saja dan memandangku penuh tanda tanya.
“Maa, sudah dua tahun lebih saya berumah tangga, tetapi istriku belum hamil-hamil juga. Kamu tahu, mustinya secara fisik, kami tidak ada masalah. Aku terang sanggup bikin anak, buktinya sudah ada kan. Aku nggak tahu kenapa kok belum jadi juga. Padahal bikinnya tidak pernah berhenti, siang malam”, kataku agak melucu. Bu Tadi memandangku.
“Pa, saya harus berbuat apa untuk membantumu. Kalau saya hamil lagi, saya yakin suamiku tidak akan mengijinkan adiknya Nia kau minta menjadi anak angkatmu. Toh anak kami kan gres dua orang nantinya, dan niscaya suamiku akan sayang sekali. Untukku sih memang seharusnya bapaknya sendiri yang mengurusnya. Tidak ibarat sekarang, keenakan dia. Cuma bikin doang, giliran sudah jadi bocah orang lain dong yang ngurus”, katanya sambil merenggut manja. Aku tersenyum kecut.
“Jangan-jangan ini sanksi buatku ya maa, Aku dieksekusi tidak punya anak sendiri. Biar tahu rasa”, kataku.
“Ya sabar dulu deh paa, mungkin belum pas saja. Spermamu belum pas ketemu sama telornya Rina (nama istriku). Siapa tahu bulan depan berhasil”, katanya menghiburku.
“Ya mudah-mudahan. Tolong didoain yaa…”
“Enak saja. Didoain? Mustinya saya kan nggak rela Papa menyetubuhi Rina istrimu itu. Mustinya Papa kan punyaku sendiri, saya monopoli. Nggak boleh punya Papa masuk ke perempuan lain kan. Kok malah minta didoain. Gimana siih”, katanya manja dan sambil memelukku erat-erat. Benar juga, mestinya kami ini jadi suami-istri, dan Nia itu anak kami.
“Maa, bila kita ngomong-ngomong ibarat ini, jadinya nafsunya malah jadi menurun lho. Jangan-jangan nggak jadi main nih”, kataku menggoda.
“Iiih, dasar”, katanya sambil mencubit pahaku kuat-kuat.
“Makanya jangan ngomong saja. Segera saja Mama ini diperlakukan sebagaimana mestinya. Segera digarap doong!” katanya manja.
Kami berpelukan dan berciuman lagi. Tentu saja kami tidak puas hanya berciuman dan berpelukan saja. Kutidurkan beliau di daerah tidur, kutelentangkan. Bu Tadi mandah saja. Pasrah saja mau diapain. Dia menggunakan daster dengan kancing yang berderet dari atas ke bawah. Kubuka kancing dasternya satu per satu mulai dari dada terus ke bawah. Kusibakkan ke kanan dan ke kiri bajunya yang sudah lepas kancingnya itu. Menyembullah buah dadanya yang putih menggunung (dia sudah tidak pakai BH). Celana dalam warna putih yang menutupi vaginanya yang nyempluk itu saya pelorotkan. ID PRO POKER
Aku benar-benar menikmati keindahan tubuh istri gelapku ini. Saat satu kakinya ditekuk untuk melepaskan celana dalamnya, gerakan kakinya yang indah, vaginanya yang agak terbuka, aduh pemandangan itu sungguh indah. Benar-benar membuatku menelan ludah. Wajah yang ayu,buah dada yang putih menggunung, perut yang langsing, vagina yang nyempluk dan agak terbuka, kaki yang indah agak mengangkang, sungguh mempesona. Aku tidak tahan lagi. Aku lempar sarungku dan kaosku entah jatuh dimana. Aku segera naik di atas tubuh Bu Tadi. Kugumuli beliau dengan penuh nafsu. Aku tidak peduli Bu Tadi megap-megap keberatan saya tindih sepenuhnya. Habis gemes banget, nafsu banget sih.
“Uugh jangan nekad tho. Berat nih”, keluh Bu Tadi.
Aku bertelekan pada telapak tanganku dan dengkulku. Penisku yang sudah tegang banget saya paskan ke vaginanya. Terampil tangan Bu Tadi memegangnya dan dituntunnya ke lubang vaginanya yang sudah basah. Tidak ada kesulitan lagi, masuklah semuanya ke dalam vaginanya. Dengan penuh semangat kukocok vagina Bu Tadi dengan penisku. Bu Tadi semakin naik, menggeliat dan merangkulku, melenguh dan merintih. Semakin usang semakin cepat, semakin naik, naik, naik ke puncak.
“Teruuus, teruus paa.. sshh… ssh…” bisik Bu Tadi
“Maa, saya juga sudah mau… keluaarr”,
“Yang dalam paa… yang dalamm. Keluarin di dalaam Paa… Paa… Adduuh Paa nikmat banget Paa…, ouuch..”, jeritnya lirih yang merangkulku kuat-kuat.
Kutekan dalam-dalam penisku ke vaginanyanya. Croot, cruuut, crruut, keluarlah spermaku di dalam rahim istri gelapku ini. Napasku ibarat terputus. Kenikmatan luar biasa menjalar kesuluruh tubuhku. Bu Tadi menggigit pundakku. Dia juga sudah mencapai puncak. Beberapa detik beliau saya tindih dan beliau merangkul kuat-kuat.
Akhirnya rangkulannya terlepas. Kuangkat tubuhku. Penisku masih di dalam, saya gerakkan pelan-pelan, aduh geli dan ngilu sekali hingga tulang sumsum. Vaginanya licin sekali penuh spermaku. Kucabut penisku dan saya terguling di samping Bu Tadi. Bu Tadi miring menghadapku dan tangannya diletakkan di atas perutku. Dia berbisik, “Paa, Nia sudah cukup besar untuk punya adik. Mudah-mudahan kali ini eksklusif jadi ya paa.
Aku ingin beliau seorang laki-laki. Sebelum Papa tadi mengeluh Rina belum hamil, saya memang sudah berniat untuk berbagi Nia seorang adik. Sekalian untuk test apakah Papa masih joos apa tidak. Kalau saya hamil lagi berarti Papa masih joosss. Kalau nanti pengin menggendong anak, ya gendong saja Nia sama adiknya yang gres saja dibentuk ini.” Dia tersenyum manis. Aku diam saja. menerawang jauh, alangkah nikmatnya sanggup menggendong anak-anakku.
Malam itu saya bersetubuh lagi. Sungguh penuh cinta kasih, penuh kemesraan. Kami tuntaskan kerinduan dan cinta kasih kami malam itu. Dan saya menunggu dengan harap-harap cemas, jadikah anakku yang kedua di rahim istri gelapku ini?
0 Response to "Cerita Sex Puas Banget Menduakan Ngewe Memek Isteri Tetangga"
Post a Comment